ALIAMIN, Dekan Fakultas Ekonomi Unmuha Banda
Aceh dan Dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, melaporkan dari Houston, Amerika
Serikat
UNDANGAN dari Nusantara Foundation Amerika
Serikat dan Baznas Indonesia untuk ikut seminar internasional di New York,
Amerika Serikat (AS), tentu saja tidak saya lewatkan. Sebelum seminar dimulai
empat hari lalu, saya berkunjung lebih dulu ke Texas, tepatnya ke Houston, kota
terbesar keempat di AS.
Saya pilih Houston karena selain ada saudara
dekat saya yang bermukim di kota ini, juga karena ingin melihat langsung
bagaimana geliat kota industri ini sebenarnya. Sejauh yang saya amati, Kota
Houston memang menakjubkan. Di Texas ini terdapat kota besar lainnya yang
terkenal, seperti Dallas, tempat ditembaknya Presiden John F Kennedy pada 22
November 1963. Di sini juga terdapat San Antonio, kota ketujuh terbesar di AS.
Perputaran ekonomi “negeri koboi” ini bersumber
dari minyak dan gas bumi. Ladang minyak dan gas telah lama bercokol. Imbasnya,
perusahaan-perusahaan terkenal di dunia berkantor di Houston. Chevron Corp,
ExxonMobil, Shell Oil Company, Transocean, Baker Oil Tools, GE Oil and Gas
adalah di antara perusahaan migas yang beroperasi dan menumpuk di Houston.
Banyak orang Indonesia, saat bertemu di Houston dan saya tanya di mana bekerja,
mereka jawab, di salah satu perusahaan minyak yang berlokasi di Downtown.
Sebagaimana ciri negara maju, transaksi perdagangan
besar atau kecil tidak lagi menggunakan uang kartal, tetapi kebanyakan
menggunakan uang giral. Untuk kepentingan berbagai kebutuhan individu, baik
untuk membeli rumah dan mobil, juga dilakukan menggunakan kartu, baik kartu
kredit maupun debet. Ini merupakan revolusi alat pembayaran yang diakui
berbagai negara di dunia.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi,
penggunaan kartu sebagai alat bayar akan tergeser. Tak lama lagi, telepon
genggam (hp) akan “mendobrak” revolusi alat bayar. Hal ini mulai terasa di
Texas.
Tapi ada kekurangan besar yang ditemui kaum
muslimin di Texas ini, yakni susah mendapatkan kuliner yang islami. Di negeri
bekas jajahan enam negara ini, kami berusaha mencari makanan India yang
berlabel 100% halal. Sesuai shalat Magrib kami berangkat ke jalan highway Nomor
7821. Di sini terlihat tenda putih ditempel dengan sebuah truk bercat putih di
sampingnya. Inilah restoran Tandoori Nite yang di sisi depannya tertulis:
gratis/free parking (rupanya “gratis” bahasa Spanyol, juga banyak digunakan di
sini). Sang koki menulis di secarik kertas, makanan dan minuman yang kami
pesan. Kemudian dia berkata, “Approval please (mohon teken di sini),” sambil
menyodorkan hp kepada pelanggan lain. Pelanggan ini cukup tangkas membubuhkan
tanda tangan dengan jari telunjuknya di hp yang disodorkan pemilik restoran. Si
penanda tangan adalah seorang gadis keturunan India. Kepada teman makan saya
bertanya, apa aktivitas yang mereka lakukan itu. Dia jawab bahwa si pelanggan
telah membayar makanannya melalui hp. Oh, berarti sudah ada alat pembayaran
baru yang lebih canggih daripada kartu kredit, saya membatin. Itu tentulah
karena ada akses e-banking di hpnya atau program yang disebut dengan e-cash
handphone, atau istilah gaulnya: ada uang di hpmu.
Sepulang dari wisata di NASA, pusat operator
pesawat ulang-alik, kami kembali berburu makanan halal. Kali ini mampir di
restoran “Mama Yu” Indonesian Menu yang terletak di 10815 Beechnut St Suite
143.
Seperti umumnya restoran, ada gambar menu di
latar belakang (backdrop), mulai dari empek-empek palembang, soto ayam,
gado-gado, mihun, rendang padang, goreng ikan balado, sate padang, sampai nasi
goreng. Kami pesan sate ayam padang pakai nasi.
Sehabis saya makan, pengunjung lain, seorang
karyawan Chevron asal Indonesia, memesan mi aceh. Saya terkejut, ada mi aceh di
Houston. Rupanya seluruh menu yang dibingkai bak foto dengan ukuran 10HR di
atas meja pelanggan merupakan menu andalan yang tidak dicantumkan di backdrop
yang sebelumnya tak terlihat.
Karena penasaran, saya bertanya, dari mana
belajar membuat mi aceh. Dengan tangkas, pelayan yang rupanya anak pemilik
restoran menjawab bahwa ayahnya sering bertualang kuliner, mulai dari Jawa
sampai ke Aceh. Hendro Priyono, sang Ayah, banting setir membuka restoran, setelah
usahanya menambang pasir di Cikarang, Bekasi, tak berkembang. Pria kelahiran
Salatiga, Jawa Tengah ini sudah dua kali ke Aceh. Bersama istrinya, Ayu
Sulastri, keturunan Cina, mereka buka restoran dengan nama “Mama Yu”, maksudnya
Mama Ayu Sulastri.
Si pelanggan di restoran ini pun, seperti
biasanya, membayar melalui hp. Kami, karena dari “kampung”, tentu membayar
makanan secara cash. Di Houston, orang bertransaksi secara cash terasa “aneh”.
Umumnya setiap pembayaran apa saja dilakukan dengan kartu kredit. Ini
dimungkinkan karena tingkat bunga kredit di AS sangat rendah.
Pada waktu check in dari Houston ke New York,
saya lihat para penumpang men-scan hp-nya. Setelah memindai boarding pass, saya
juga menyodorkan hp karena saya ingin di-scan. Tapi petugas bandara bertanya,
“What for?” Saya menjawab, “Oh, I am sorry” setelah sadar bahwa rupanya hp juga
pengganti boarding pass. Hehehe.
Sumber : tribunnews.com
\iklan |
Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi indodetik.com. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.