.comment-content a {display: none;}
Info
|
Profil G+ Profil Facebook Profil twitter profil Youtube rss feed
Home » , , » Kisah Hidup Ketua MK, Hamdan Zoelva "Anak Petani yang Cerdas"

Kisah Hidup Ketua MK, Hamdan Zoelva "Anak Petani yang Cerdas"

Nama dari ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva mungkin awalnya tak begitu dikenal. Namun seiring seringnya ia muncul di layar kaca ketika menjalankan sidang gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
Inilah beberapa kisah hidup Hamdan Zoelva Si Ketua MK sosok pria yang sekarang jadi tenar dan banyak dicari orang, terutama kaum hawa, karena ia dianggap tegas dan punya paras tampan.

Sewaktu Kecil Sering Cari Kayu Bakar dan Kemiri di Hutan

Dari penuturan saudara-saudaranya, Hamdan sejak kecil sudah dididik untuk sederhana dan bekerja. Anisa, adik perempuan ayah Hamdan, mengisahkan bahwa sejak di Bima Hamdan sudah biasa mencari kayu bakar di hutan untuk membantu ibunya memasak. Hal ini pun dibenarkan oleh ayahanda, KH. Muhammad Hasan dan kakak Hamdan, Prof. Thib Raya. Hamdan pun tersenyum ketika ditanya mengenai masa kecilnya itu.

“Sewaktu di Bima saya dan saudara-saudara sudah biasa mencari kayu bakar di hutan. Di Doro Rite. Kalau di sini, di Parado, kayu bakar tak usah dicari ke hutan karena tak jauh dari rumah. Di sini saya biasa ke hutan atau gunung mencari kemiri”, tutur Hamdan.

Hamdan Biasa Menanam Padi dan Membajak Sawah dengan Kerbau

“Menanam padi itu saya sudah biasa diajak. Bukan hanya itu, membajak sawah dengan kerbau pun sering. Di sini membajak sawah dengan kerbaunya beda, bukan dengan satu kerbau dan ada alat bajaknya, tapi hanya dengan kerbau saja. Jadi 15 sampai 20 ekor kerbau disuruh injak-injak tanah sawah. Hanya diinjak-injak saja oleh kerbau. Saya di belakang kerbau-kerbau itu sambil lari-lari”, Hamdan Zoelfa mengisahkan.

“Setelah padi menguning saya juga sering menjaga padi agar tidak dimakan oleh burung”, tambahnya.

Hal serupa diungkapkan oleh Thib Raya, kakak Hamdan Zoelfa. Ia menuturkan bahwa ayahnya selalu melatih dia dan adik-adiknya untuk bekerja. Memikul padi dan beras, menanam singkong, pokoknya kerja. Ayah mengajarkan juga dalam bekerja pada anak-anaknya dengan cara bersaing.

“Di saat tanam singkong, kami diberikan lubang masing-masing. Disuruh tanam pohon singkong di situ. Siapa yang cepat tanamnya dan bagus dia dapat hadiah”.

Hamdan Anak Berprestasi Tapi Tidak Mau Jadi PNS

Ayah Hamdan menuturkan bahwa sejak kecil Hamdan selalu berprestasi:

“Sejak dari SD sampai kuliah ia anak yang pintar, selalu berprestasi. Saya selalu membimbingnya belajar, karena saya dulu gurunya langsung, baik di rumah maupun di sekolah. Sembilan anak saya semuanya begitu. Di rumah saya yang ajarkan, di sekolah pun saya ikut mengajar mereka. Dulu mengajar pelajaran bahasa Inggris, Arab, dan Jerman di MAN 1 dan SMAN 1 Bima. Makanya, anak-anak memanggil saya semuanya bukan dengan panggilan bapak tapi dengan panggilan ‘guru”.

Ketika ditanya, apakah Hamdan nakal sewaktu kecilnya, dijawab oleh ayahnya: “Oh tidak, Hamdan anak yang penurut”. Diperkuat oleh keterangan kakak Hamdan, “Pesan ibu kami tidak boleh berkelahi”.

“Hamdan itu anak yang luar biasa. Hanya lima anak Bima yang lulus di UNHAS. Sementara yang daftar dari Bima ke Makasar itu berkapal-kapal. Kelima orang itu: empat orang dari sekolah umum dan hanya satu orang dari sekolah agama (Madrasah Aliyah), ya Hamdan itu satu-satunya orang Bima saat itu yang lulus di Unhas. Bahkan dia waktu lulus di dua kampus sekaligus, yaitu di IAIN dan di Unhas. Dua-duanya dia pilih. Jadi Hamdan pernah kuliah di dua kampus sekaligus. Dan, nilai-nilainya di dua kampus tersebut bagus semua. Hampir nilai 4 semua. Namun, sejak dia aktif di HMI, di semester ketiga nilainya anjlok. Maka, saya suruh dia memilih, antara IAIN atau Unhas. Akhirnya dia memilih di Unhas”, Prof. Thib Raya sebagai kakak mengisahkan liku-liku pendidikan Hamdan.

“Hamdan berkata pada saya bahwa dia tidak mau jadi PNS. Makanya memilih jurusan hukum internasional pada saat di Unhas. Dia bilang ke saya, ‘cukup kakak saja yang jadi PNS, saya mau di swasta saja’”, tambah Thib Raya.



Hamdan Paling Disayang Ayahnya dan Kadang Membuat Iri

Kakak Hamdan Zoelfa, Prof. Thib Raya yang kini dosen besar UIN Jakarta, menuturkan bahwa Hamdan adalah anak yang paling disayang ayah.

“Kadang membuat iri yang lain termasuk saya. Pernah ketika Hamdan nikah dengan adat sunda ada prosesi sungkeman. Ayah mendoakan Hamdan di atas ubun-ubunnya sampai setengah jam. Capek juga saya yang waktu itu pegang mic. Pun iri padanya, soalnya dulu saja di saat saya kawin tidak pernah didoakan sampai lama begitu”, ujar Prof. Thib Raya sambil tertawa.

“Pernah juga pada saat resepsi nikah, ayah yang pada anak-anak lain tidak pernah hadir di acara resepsi, di resepsi Hamdan seharian ia ada di situ mendampingi bersama ibu. Bikin iri saya lagi, dulu di saat saya kakaknya nikah tidak seperti itu”, tambah Thib Raya sambil tertawa lagi.

“Hamdan di saat kecil ke sekolah dibonceng oleh ayah. Karena ia anak kesayangan ayah. Kasih sayang ayah terhadap Hamdan berlanjut sampai kuliah. Di saat Hamdan lulus di UNHAS Makasar dan tinggal satu hari lagi tenggat waktu melunasi bayaran untuk kuliah. Waktu itu saya sudah menjadi asisten dosen dan berkata pada ayah saya, biar saya yang membayar uang kuliahnya. Ayah diam saja. Keesokan harinya ayah langsung memberi uang dan berkata ini untuk uang kuliah Hamdan. Karena saya tahu, Hamdan anak kesayangan ayah, pasti ayah kasih uang”, Thib Raya mengisahkan dengan semangat.

Hamdan Sewaktu Kecil Dipanggil China dan Budi

“Hamdan punya face yang beda dibanding anak-anak yang lain. Matanya sipit, makanya dulu sering dipanggil ‘China Makau’.”, ujar Thib Raya.

“Panggilan yang lain adalah Budi. Panggilan ini berlangsung sampai Aliyah, bahkan di saat kuliah pun masih ada yang manggil dia Budi. Disebut Hamdan mungkin tidak ada yang tahu, tapi kalau disebut Budi dari Rato Parado tahu. Panggilan Budi karena sewaktu ayah jadi guru Bahasa Inggris sering terima majalah Voice of America. Hamdan suka baca majalah itu. Di majalah itu kalau orang Indonesia identik dengan panggilan Budi. Hamdan selalu mengulang-ulang nama Budi di saat baca majalah. Maka dipanggillah oleh kami dengan Budi”, tambahnya.

Satu Telur Untuk Berempat

Dalam masalah makanan, ayahanda Hamdan mengatakan, sejak kecil Hamdan tidak pernah pilih-pilih makanan. Seadanya saja. Karena mereka dulu hidup sangat sederhana. Bahkan, menurut Thib Raya, di saat kuliah pun ketika orang lain uang bulanannya 10.000 rupiah sementara dia dan Hamdan hanya dikasih 2500 rupiah. Secukupnya segitu.

“Di rumah pun sampai saat ini suami saya tidak pernah pilih-pilih kalau masalah makanan”, Nina Damayanti, istri Hamdan menuturkan.

“Ibu kami pintar. Kami sering mengalami makan dengan telur tapi asapnya saja. Kenapa begitu? Karena hanya ada satu telur tapi biar cukup untuk berempat (waktu itu kami masih berempat, laki-laki semua lagi), telur itu diakali dimasukkan ke air panas. Digodok lalu kami makan dengan telur yang sudah dicampur air panas itu”, Thib Raya mengisahkan.**[liputan ekslusif harjasaputra]

Sumber : kompasiana.com

\iklan
Share this post :

Isi Komentar Anda

Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi indodetik.com. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

0 Comments
Comments

Post a Comment

Next Back Home