Nama
dari ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva mungkin awalnya tak begitu
dikenal. Namun seiring seringnya ia muncul di layar kaca ketika menjalankan
sidang gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
Inilah beberapa
kisah hidup Hamdan Zoelva Si Ketua MK sosok pria yang sekarang jadi tenar dan banyak
dicari orang, terutama kaum hawa, karena ia dianggap tegas dan punya paras
tampan.
Sewaktu
Kecil Sering Cari Kayu Bakar dan Kemiri di Hutan
Dari
penuturan saudara-saudaranya, Hamdan sejak kecil sudah dididik untuk sederhana
dan bekerja. Anisa, adik perempuan ayah Hamdan, mengisahkan bahwa sejak di Bima
Hamdan sudah biasa mencari kayu bakar di hutan untuk membantu ibunya memasak.
Hal ini pun dibenarkan oleh ayahanda, KH. Muhammad Hasan dan kakak Hamdan,
Prof. Thib Raya. Hamdan pun tersenyum ketika ditanya mengenai masa kecilnya
itu.
“Sewaktu
di Bima saya dan saudara-saudara sudah biasa mencari kayu bakar di hutan. Di
Doro Rite. Kalau di sini, di Parado, kayu bakar tak usah dicari ke hutan karena
tak jauh dari rumah. Di sini saya biasa ke hutan atau gunung mencari kemiri”,
tutur Hamdan.
Hamdan
Biasa Menanam Padi dan Membajak Sawah dengan Kerbau
“Menanam
padi itu saya sudah biasa diajak. Bukan hanya itu, membajak sawah dengan kerbau
pun sering. Di sini membajak sawah dengan kerbaunya beda, bukan dengan satu
kerbau dan ada alat bajaknya, tapi hanya dengan kerbau saja. Jadi 15 sampai 20
ekor kerbau disuruh injak-injak tanah sawah. Hanya diinjak-injak saja oleh
kerbau. Saya di belakang kerbau-kerbau itu sambil lari-lari”, Hamdan Zoelfa
mengisahkan.
“Setelah
padi menguning saya juga sering menjaga padi agar tidak dimakan oleh burung”,
tambahnya.
Hal
serupa diungkapkan oleh Thib Raya, kakak Hamdan Zoelfa. Ia menuturkan bahwa
ayahnya selalu melatih dia dan adik-adiknya untuk bekerja. Memikul padi dan
beras, menanam singkong, pokoknya kerja. Ayah mengajarkan juga dalam bekerja
pada anak-anaknya dengan cara bersaing.
“Di
saat tanam singkong, kami diberikan lubang masing-masing. Disuruh tanam pohon
singkong di situ. Siapa yang cepat tanamnya dan bagus dia dapat hadiah”.
Hamdan
Anak Berprestasi Tapi Tidak Mau Jadi PNS
Ayah
Hamdan menuturkan bahwa sejak kecil Hamdan selalu berprestasi:
“Sejak
dari SD sampai kuliah ia anak yang pintar, selalu berprestasi. Saya selalu
membimbingnya belajar, karena saya dulu gurunya langsung, baik di rumah maupun
di sekolah. Sembilan anak saya semuanya begitu. Di rumah saya yang ajarkan, di
sekolah pun saya ikut mengajar mereka. Dulu mengajar pelajaran bahasa Inggris,
Arab, dan Jerman di MAN 1 dan SMAN 1 Bima. Makanya, anak-anak memanggil saya
semuanya bukan dengan panggilan bapak tapi dengan panggilan ‘guru”.
Ketika
ditanya, apakah Hamdan nakal sewaktu kecilnya, dijawab oleh ayahnya: “Oh tidak,
Hamdan anak yang penurut”. Diperkuat oleh keterangan kakak Hamdan, “Pesan ibu
kami tidak boleh berkelahi”.
“Hamdan
itu anak yang luar biasa. Hanya lima anak Bima yang lulus di UNHAS. Sementara
yang daftar dari Bima ke Makasar itu berkapal-kapal. Kelima orang itu: empat
orang dari sekolah umum dan hanya satu orang dari sekolah agama (Madrasah
Aliyah), ya Hamdan itu satu-satunya orang Bima saat itu yang lulus di Unhas.
Bahkan dia waktu lulus di dua kampus sekaligus, yaitu di IAIN dan di Unhas.
Dua-duanya dia pilih. Jadi Hamdan pernah kuliah di dua kampus sekaligus. Dan,
nilai-nilainya di dua kampus tersebut bagus semua. Hampir nilai 4 semua. Namun,
sejak dia aktif di HMI, di semester ketiga nilainya anjlok. Maka, saya suruh
dia memilih, antara IAIN atau Unhas. Akhirnya dia memilih di Unhas”, Prof. Thib
Raya sebagai kakak mengisahkan liku-liku pendidikan Hamdan.
“Hamdan
berkata pada saya bahwa dia tidak mau jadi PNS. Makanya memilih jurusan hukum
internasional pada saat di Unhas. Dia bilang ke saya, ‘cukup kakak saja yang
jadi PNS, saya mau di swasta saja’”, tambah Thib Raya.
Hamdan
Paling Disayang Ayahnya dan Kadang Membuat Iri
Kakak
Hamdan Zoelfa, Prof. Thib Raya yang kini dosen besar UIN Jakarta, menuturkan
bahwa Hamdan adalah anak yang paling disayang ayah.
“Kadang
membuat iri yang lain termasuk saya. Pernah ketika Hamdan nikah dengan adat
sunda ada prosesi sungkeman. Ayah mendoakan Hamdan di atas ubun-ubunnya sampai
setengah jam. Capek juga saya yang waktu itu pegang mic. Pun iri padanya,
soalnya dulu saja di saat saya kawin tidak pernah didoakan sampai lama begitu”,
ujar Prof. Thib Raya sambil tertawa.
“Pernah
juga pada saat resepsi nikah, ayah yang pada anak-anak lain tidak pernah hadir
di acara resepsi, di resepsi Hamdan seharian ia ada di situ mendampingi bersama
ibu. Bikin iri saya lagi, dulu di saat saya kakaknya nikah tidak seperti itu”,
tambah Thib Raya sambil tertawa lagi.
“Hamdan
di saat kecil ke sekolah dibonceng oleh ayah. Karena ia anak kesayangan ayah.
Kasih sayang ayah terhadap Hamdan berlanjut sampai kuliah. Di saat Hamdan lulus
di UNHAS Makasar dan tinggal satu hari lagi tenggat waktu melunasi bayaran
untuk kuliah. Waktu itu saya sudah menjadi asisten dosen dan berkata pada ayah
saya, biar saya yang membayar uang kuliahnya. Ayah diam saja. Keesokan harinya
ayah langsung memberi uang dan berkata ini untuk uang kuliah Hamdan. Karena
saya tahu, Hamdan anak kesayangan ayah, pasti ayah kasih uang”, Thib Raya
mengisahkan dengan semangat.
Hamdan
Sewaktu Kecil Dipanggil China dan Budi
“Hamdan
punya face yang beda dibanding anak-anak yang lain. Matanya sipit, makanya dulu
sering dipanggil ‘China Makau’.”, ujar Thib Raya.
“Panggilan
yang lain adalah Budi. Panggilan ini berlangsung sampai Aliyah, bahkan di saat
kuliah pun masih ada yang manggil dia Budi. Disebut Hamdan mungkin tidak ada
yang tahu, tapi kalau disebut Budi dari Rato Parado tahu. Panggilan Budi karena
sewaktu ayah jadi guru Bahasa Inggris sering terima majalah Voice of America.
Hamdan suka baca majalah itu. Di majalah itu kalau orang Indonesia identik
dengan panggilan Budi. Hamdan selalu mengulang-ulang nama Budi di saat baca
majalah. Maka dipanggillah oleh kami dengan Budi”, tambahnya.
Satu
Telur Untuk Berempat
Dalam
masalah makanan, ayahanda Hamdan mengatakan, sejak kecil Hamdan tidak pernah
pilih-pilih makanan. Seadanya saja. Karena mereka dulu hidup sangat sederhana.
Bahkan, menurut Thib Raya, di saat kuliah pun ketika orang lain uang bulanannya
10.000 rupiah sementara dia dan Hamdan hanya dikasih 2500 rupiah. Secukupnya
segitu.
“Di
rumah pun sampai saat ini suami saya tidak pernah pilih-pilih kalau masalah
makanan”, Nina Damayanti, istri Hamdan menuturkan.
“Ibu
kami pintar. Kami sering mengalami makan dengan telur tapi asapnya saja. Kenapa
begitu? Karena hanya ada satu telur tapi biar cukup untuk berempat (waktu itu
kami masih berempat, laki-laki semua lagi), telur itu diakali dimasukkan ke air
panas. Digodok lalu kami makan dengan telur yang sudah dicampur air panas itu”,
Thib Raya mengisahkan.**[liputan ekslusif harjasaputra]
Sumber
: kompasiana.com
\iklan |
Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi indodetik.com. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.