Bagi orang Aceh kopi bukan
sekadar minuman. Kopi bagian dari budaya. Tidak heran bila banyak sekali kedai
kopi di Aceh ramai pengunjung.
Walau sudah banyak kedai
kopi modern yang menawarkan Wi-Fi gratis bagi pengunjung, kedai kopi
tradisional Aceh tidak ditinggalkan pelanggan. Yang paling ramai dan terkenal
di Aceh adalah kedai kopi Solong di daerah Ulee Kareeng.
Menyaring kopi Aceh harus diangkat tinggi-tinggi. |
Ketika bekerja di Aceh pada
2006-2008, saya sangat sering nongkrong di kedai kopi Solong. Entah hanya
karena iseng dengan teman-teman, mengantar tamu asing, bahkan rapat bersama para
mitra kerja. Maka ketika berlibur bersama anak dan suami beberapa waktu lalu,
tentu saja saya wajib berkunjung ke sini.
Solong masing seperti
beberapa tahun yang lalu. Hanya saja, bagian belakang kedai ini makin besar.
Asap rokok mengepul dari meja-meja yang dipenuhi pengunjung. Saya memesan
sanger alias kopi susu, minuman favorit saya.
Kopi di sini, menurut saya,
luar biasa enak. Kopi Aceh tidak dapat langsung diseduh. Kopi bubuk harus
direbus terlebih dahulu, kemudian disaring menggunakan saringan kain. Cara
menyaringnya pun unik, yaitu dengan mengangkat saringan kain tinggi-tinggi.
Jangan dikira itu atraksi belaka, menyaring demikian akan mengurangi rasa masam
pada kopi.
Kopi di Solong ini sangat
pas ditemani berbagai kue tradisional Aceh, seperti timpan, pulut, ketan
srikaya, maupun kue jala.
Selesai minum kopi di
Solong, kami melangkahkan kaki ke daerah Lampulo, untuk menengok sebuah kapal
yang dihempas gelombang tsunami ke atas atap sebuah rumah.
Kapal yang berada di atas atap rumah. |
Pilar-pilar sudah dibangun
untuk menjaga agar tembok rumah di bawah kapal tidak runtuh. Tak ada ongkos
masuk ke kompleks ini. Hanya ada sebuah kotak amal — yang berisikan lumayan
banyak uang ringgit Malaysia.
Selain ke Lampulo, kami juga
mengunjungi Lhok Nga, salah satu daerah yang paling parah terkena dampak
tsunami. Kini pantai paling populer di Banda Aceh ini ramai dengan
warung-warung di tepi pantai. Sisa tsunami sudah tidak tampak lagi — kecuali
kuburan massal yang terletak di pinggir jalan.
Warung-warung di pinggir Pantai Lhok Nga. |
Lampuuk menjadi tujuan saya
berikutnya. Anda mungkin masih ingat dengan gambar sebuah masjid putih yang
masih berdiri tegak, sementara di sekitarnya telah rata oleh tanah? Itulah
Masjid Rahmatullah di Lampuuk.
Masjid Lampuuk sekarang
telah direnovasi dengan bantuan Pemerintah Turki. Satu dinding yang roboh dan
retak akibat tsunami disisakan sebagai kenangan.
Salah satu dinding di Masjid Rahmatullah Lampuuk yang diterjang tsunami. |
Kurang lengkap rasanya bila
berkunjung ke Aceh tanpa masuk ke Museum Tsunami Aceh yang belum lama
diresmikan. Museum ini dibangun sebagai pengingat terhadap bencana tsunami.
Desain bangunan ini memang merefleksikan gelombang tsunami.
Museum Tsunami Aceh yang baru saja dibuka. |
Bagian dalam museum ini pun
dibuat sedemikian rupa dengan lorong gelap sehingga seolah-olah pengunjung
memasuki gelombang tsunami. Foto-foto setelah tsunami dan aktivitas kemanusiaan
juga banyak dipamerkan di museum ini.
Sebelum meninggalkan Banda
Aceh, saya menikmati mie kepiting Aceh di warung langganan saya dulu. Mie
ditambah dengan satu ekor kepiting segar, acar, irisan bawang merah, dan cabai
rawit terasa sangat nikmat. Harganya pun hanya Rp30 ribu rupiah. Bandingkan
dengan harga satu ekor kepiting di Jakarta!
Sebagai buah tangan untuk
dibawa pulang, saya membeli kopi bubuk
Solong, seharga Rp75 ribu per kilogram dan dendeng Aceh yang enak sekali.
Sumber http://id.berita.yahoo.com/mereguk-kopi--mengenang-tsunami--041151616.html
\iklan |
Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi indodetik.com. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.